Mes Petites Histoires

Mes Petites Histoires

Gadis itu...


Aku membuka buku harian usang yang sudah lama terpajang di rak. Kulit depan buku itu bertuliskan nama seorang gadis yang aku kenal. Veronica Swatson. Aku membuka lembar demi lembar buku itu dengan perasaan yang sudah lama kurasakan. Tepat ditengah buku itu aku menemukan sebuah foto. Pertama kali melihat wajah cantik wanita di foto yang saat ini sedang kutatap, aku tahu dialah gadis yang selama ini aku cintai. Melihat senyuman manis yang terukir di bibir gadis di foto itu, mengingatkanku akan kenangan manis nan pahit yang pernah kualami dua puluh tahun silam.
“Sam, aku ingin kau segera menikahiku secepatnya.”
Kenangku  mengingat ucapan yang gadis itu ucapkan dengan rona merah di wajahnya. Aku ingat. Saat itu aku langsung menolak permintaannya itu. Aku memberi alasan yang memang sudah menjadi cita-citaku sejak kecil.
“Aku ingin menyelesaikan kuliahku dulu. Kau tahukan aku ingin menjadi seorang dokter.”
Ya, menjadi dokter adalah impian terbesarku. Saat itu yang kupikirkan adalah merealisasikan impian yang kumiliki. Aku tak memikirkan perasaan dan keberanian gadis yang kusayangi itu untuk mengajakku menikah.
Namun kini bukan bahagia yang kupunya, hanya rasa sesal yang sepanjang hari mengiang di kepalaku. Air mata kesedihan mengalir di kedua pipiku. Aku memang sudah menjadi dokter sekarang, tepatnya dokter bedah. Aku berhasil meraih impianku. Aku berhasil mencapai cita-citaku. Mimpiku sudah menjadi kenyataan.
Kini aku mulai menyadari bahwa dunia ini begitu kejam. Bukan ini yang selama ini aku cari. Dokter. Itu impian terbesarku. Yang aku inginkan saat ini adalah hidup bersama wanita yang ada di foto ini. Membina rumah tangga. Aku suaminya dan dia istrinya.
Sungguh sulit kupercaya gadis yang tersenyum di foto yang sedang kutatap ini, gadis yang dulu aku cintai selama hidupku, kini telah tiada. Jika saja saat itu aku tahu bahwa dia mengidap kanker darah dan hidupnya hanya menghitung bulan saja, pasti sudah kupinang dan kujadikan istriku saat itu juga.
Penyesalan yang kurasakan ini akan selamanya ada dalam diriku, hatiku dan pikiranku. Haruskah aku hidup dengan menanggung semua penyesalan ?