Mes Petites Histoires

Mes Petites Histoires

Make a Little Love





Musim dingin diawal tahun 2011 ini sungguh membuatku kesal, di sepanjang jalan penuh dengan tumpukan salju yang paling aku benci. Berita-berita di TV selalu saja membicarakan tentang badai salju dan itu semakin membuatku kesal. Aku harus tetap masuk kerja di cuaca ekstrim sedingin ini ditambah lagi dengan mobil Chevrolet-ku yang selalu saja mogok saat musim dingin tiba. Harusnya mobil tua itu membantuku untuk lebih cepat tiba di kantor di saat seperti ini. Terpaksa setiap musim dingin tiba aku pergi ke kantor dengan berjalan kaki. Apakah aku sudah bilang? Aku alergi dengan dengan kendaraan umum. Setiap menaiki kendaraan umum aku selalu mabuk. Alergi itu ada sejak aku di sekolah dasar dan hal itu sungguh membuatku kesal. Dulu ayah selalu mengantakan aku ke sekolah dengan menaiki mobil Chevrolet-nya, yang kini tentu saja menjadi milikku. Ayahku selalu melarangku untuk menjual mobil butut yang sering sekali mogok itu. Katanya, “Mobil itu penuh dengan kenangan Ayah bersama mendiang Ibumu.”
Namaku Joshua Walker Dexter. Orang-orang di sekelilingku memanggilku dengan sebutan Joe, dan aku sangat membenci panggilan itu. Nama panggilan itu mengingatkan aku dengan mantap kekasihku saat kuliah. Dia selalu memanggilku dengan nama Joe. Dia meninggalkan aku begitu saja di kota New York ini tujuh tahun yang lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia pindah ke Australia karena Ayahnya dipindah tugaskan ke Negeri Kangguru itu. Saat teman-temanku memanggilku: Joe, aku selalu langsung menyela kata-kata mereka, “Tolong, panggil aku Josh saja.” Dan kata-kata itu selalu aku ucapkan kepada temanku Anthony Brown, yang selalu memanggilku Joe. Walaupun dia teman terbaikku, aku selalu marah saat dia memanggilku dengan nama Joe.
Hari ke dua puluh dua di bulan Januari ini adalah hari sabtu, hari dimana aku bisa beristirahat dari kepenatan urusan-urusan di kantor. Akan tetapi karena cuaca extrim melanda kota New York. Hari ini, hujan salju turun tanpa henti sepanjang hari. Dan hal itu mengacaukan semua rencana yang sudah aku susun dengan susah payah. Aku harus diam sepanjang hari di dalam rumah dengan ditemani pemanas ruangan. Padahal tadinya bila salju tak turun, aku akan membawa Chevrolet-ku ke bengkel, berbelanja kebutuhan rumah di Swalayan dan bertemu dengan Anthony di Café untuk membicarakan liburan tahun musim dingin kami ke Alaska. Dan semua itu harus aku batalkan karena hujan salju sialan ini. “Oh tuhan, aku benci dengan hujan salju ini.”
Aku baru saja selesai mandi. Jam dinding di rumahku baru menunjukan pukul 9 dan saat aku sedang memakai pakaian musim dinginku, ponselku tiba-tiba saja terdengar berbunyi. Nada deringnya sangat jelas terdengar. Itu adalah sebuah nada panggilan bukan nada pesan.  Dan aku tentu saja selalu lupa dimana terakhir kali aku menaruh ponsel itu. Kuperiksa saku jaketku. Tidak ada.  Saku celanaku. Tidak ada. Dibawah bantalku. Tidak ada. Dan terakhir aku bergegas menuju Sofa. Ku periksa di sela-sela sofa itu dan ternyata ponselku memang ada disana. Aku meraihnya dan melihat angka-angka yang muncul di display ponselku. Nomor ini tidak ada di kontak ponselku. Kutekan tombol hijau untuk menjawab panggilan itu.
“Halo,” sapaku.
“Halo, selamat pagi. Apakah ini dengan Joshua Dexter? ucap suara wanita yang ada di dalam ponselku. Samar-samar aku seperti ingat pemilik suara merdu ini. Tapi aku tidak yakin. Mungkinkah dia?
“Oh, iya benar. Ini aku sendiri Joshua Dexter. Kalau boleh tahu, aku bicara dengan siapa?”
“Oh, untunglah benar ini nomormu, Joe. Akhirnya aku bisa menghubungimu lagi. Kau baik-baik saja kan?”
Wanita ini tidak menjawab pertanyaan yang baru saja ku lontarkan, dia malah bertanya tentang keadaanku.
“Oh, Iya aku baik-baik saja. Tapi maaf, aku berbicara dengan siapa?”
“Kau tidak mengenal suaraku Joe? Ini aku He…”
“He,, He,, Helena? Helena Wilson?”
Aku begitu gagap menyebutkan namanya. Belum sempat dia menyebutkan namanya, aku sudah terlebih dahulu menyebutkan nama wanita ini. Aku sungguh terkejut. Apakah aku sedang bermimpi bisa mendengar suaranya lagi setelah sekian lama?
“Oh, ternyata kau masih ingat aku. Terima kasih Joe.”
Aku masih tertegup tidak percaya. Aku bahkan tidak bisa membalas ucapan terima kasihnya. Aku melamunkan bagaimana wajahnya yang sekarang. Apakah masih secantik yang dulu? Suara merdunya masih tetap sama, apakah sama halnya dengan wajahnya.
“Joe,,? Joe, kau masih disana? Kenapa kau tidak berbicara?”
Pertanyaan yang dia lontarkan membuyarkan lamunanku tentang dirinya. “Oh, iya. Aku baik-baik saja. Dan bagaimana dengan keadaanmu disana?”
“Well, aku baik-baik saja. Bisakah kita bertemu Joe? Aku sedang berada di New York selama seminggu ini. Ada yang ingin ku bicarakan denganmu.”
Aku bingung menjawab pertanyaannya. Apa yang harus aku lakukan?
“Oh, well. Tentu. Ya. Kapan kau ingin bertemu?” jawabku seketika. Ya tuhan, apa yang telah kulakukan. Mengapa aku menjawab “Ya”? Apakah aku gila? Mengapa aku mau bertemu lagi dengan wanita yang telah melukai hatiku di masa lalu.
“Bagaimana kalau besok jam 1 siang di Café du lait ?”
“B..Baiklah. Tidak ada masalah. Aku akan datang.”
“Ok. Sampai jumpa besok, Joe. Bye.”
“Bye.”
Dan aku masih belum mempercayainya. Oh, ya ampun. Mengapa aku setuju untuk bertemu? Padahal di masa lalu aku sudah berjanji untuk tak bertemu lagi dengannya. Shit!! Apa yang harus kulakukan.
***
Aku sudah bersiap dari tadi pagi untuk pertemuan pertamaku dengan mantan pacarku setelah lima tahun kami tidak saling bertemu. Aku memakai pakaian musim dingin yang tebal dengan syal dan penutup kepala karena aku tahu betul temperatur udara kota New York saat musim dingin. Itu akan membuatmu menggigil kedinginan sepanjang hari jika kau tak memakai baju hangat yang tebal. Aku berangkat dari apartemenku tepat pukul 11 karena aku harus berjalan kaki menuju café tempat kami janjian. Café itu jauhnya sekitar 1 mil dari apartemenku dan aku tidak ingin seorang wanita lama menungguku, oleh karena itu aku berangkat 2 jam lebih awal dari waktu kami janjian.
Aku tiba di depan Café du lait tapi aku tidak segera masuk kedalam. Aku berdiri di dekat pintu masuk. Jam tanganku baru menunjukan pukul 12.45. Aku datang limabelas menit lebih awal. Lebih baik aku menunggu daripada aku membiarkan seorang wanita menunggu. Jantungku berdetak lebih kencang. Aku tak tahu kenapa hal itu terjadi. Apakah aku merasa sangat gugup setelah sekian lama kami tidak bertemu.
Setelah lima belas menit menunggu di dekat pintu masuk, akupun memberanikan diri untuk masuk kedalam Café. Aku mendorong pintu café yang terbuat dari kaca dan bergegas masuk. Udara di dalamnya begitu hangat. Alunan musik Klasik terdegar di semua penjuru ruangan. Aku kurang suka musik klasik. Aku bahkan tidak tahu nama penyanyi dan judul lagu yang diputar di Café ini.
Aku duduk di meja nomor 17. Meja ini adalah meja yang selalu Helena pilih saat datang Café ini saat kami pacaran dulu. Well, suasana di Café ini banyak sekali berubah setelah tujuh tahun aku tidak berkunjung. Pengunjung Café ini bisa di hitung dengan jari. Entahlah mengapa Café ini kurang laris. Padahal kopi dan makanan ringan disini sangat enak. Harganya pun tidak begitu mahal, cocok dengan harga mahasiswa. Seorang pelayan menghampiri mejaku.
“Selamat Siang, Tuan. Anda ingin memesan sesuatu?”
“Aku pesan nanti saja. Aku sedang menunggu seseorang.”
“Baiklah,” ucap pelayan itu sambil berlalu.
Saat pelayan itu meninggalkan mejaku. Tiba-tiba pintu Café terbuka. Seorang wanita yang kira-kira seumuran denganku masuk ke dalam sambil menuntun seorang anak laki-laki berumur tujuh tahunan. Wanita itu menggunakan mantel berwarna merah muda, kepalanya memakai penutup kepala yang berwarna merah muda dan terlihat sekali dia menghindari dinginnya udara New York sama sepertiku. Rambutnya yang berwarna pirang terurai di pundaknya. Meskipun kepalanya tertutupi penutup kepala, dia tak ingin rambutnya yang indah tertutupi juga. Dan matanya tertutup oleh kacamata hitam sehingga aku tak bisa melihat warna matanya. Anak lelaki yang dia tuntun, menggunakan mantel berwarna biru muda dengan syal merah marun dan juga penutup kepala berwarna Ungu. Wanita itu terlihat seperti mencari seseorang. Dan saat dia melihatku duduk di meja nomor 17. Dia tersenyum kepadaku. Wanita itu berjalan menuju ke mejaku. Dari gerakan langkahnya, aku tahu bahwa wanita itu adalah Helena Wilson. Dia terlihat sangat berbeda sekali dengan gadis yang tujuh tahun lalu menjadi kekasihku. Dia seperti bermetamorfosis menjadi wanita dewasa. Mungkin karena dia kini sudah menikah, tidak seperti diriku yang setia untuk melajang di usia ku yang tahun ini genap tigapuluh tahun.
“Selamat siang” sapa wanita itu kepadaku saat dia berdiri di depan mejaku. “Apakah Anda Joshua Dexter?”
“Ya, betul. Kau pasti Helena Wilson, bukan?” tanyaku sambil berdiri dari kursi.
“Ya, Joe. Kau banyak sekali berubah. Kau tampak lebih dewasa,” ucapnya sambil mengayunkan tangannya kepadaku. Dan kami pun bersalaman.
“Oya? Begitu pun denganmu. Kau tampak lebih cantik. Silahkan duduk!”
Aku mempersilahkan Helena duduk di kursi di seberang mejaku. Karena kursi di meja kami hanya ada dua, aku memberikan kursiku untuk anak Helena. Dan aku mengambil kursi yang ada di meja 18 yang berada tepat didekat meja kami.
“Oh, Joe. Kau masih senang merayu seperti dulu. Honey, ucapkan salam kepada Uncle Joe,” perintah Helena kepada anaknya.
“Selamat siang,” ucap anak itu dengan ketus terlihat sekali bocah itu sedang kesal karena sesuatu.
“Andrew, kau tidak boleh boleh ketus begitu. Ucapakan salam dengan benar kepada Uncle Joe.”
“Sudahlah tak apa-apa. Namanya juga anak-anak,” ucapku kepada Helena. “Dia pasti sedang kesal karena sesuatu.”
“Maafkan anakku Joe. Anakku kesal karena aku memaksanya untuk ikut bersamaku, karena di Apartemenku tak ada seorang pun yang bisa menjaganya.”
Kenapa tidak ada yang bisa menjaga anakknya. Lantas kemana suami Helena atau Ayah anak ini. Mungkin, Ayahnya sedang ada urusan sehingga tidak bisa menjaga anaknya. Atau mereka sudah bercerai. ‘Ayolah, Joe! Berhenti mencampuri urusan orang lain,’ umpatku di dalam hati.
“Oya, aku lupa kalian belum berkenalan. Joe, perkenalkan anakku Andrew.”
“Andrew, ini uncle Joshua Dexter. Kau bisa memanggilnya uncle Joe.”
Joe?? Biasanya aku langsung marah, bila ada orang yang memanggilku dengan sebutan Joe. Tapi kali ini berbeda. Aku tidak bisa marah sama sekali padanya. Apakah aku masih mencintai wanita ini. ‘Ayolah Joe, kau jangan sampai jatuh cinta lagi pada wanita yang pernah menyakitimu. Apalagi dia kini telah menikah dan punya anak. Kau tidak boleh menjadi perusak rumah tangga mantan kekasihmu tujuh tahun lalu,’ umpatku lagi dalam hati.
Well, selamat siang Andrew. Senang berkenalan denganmu,” ucapku kepada anak itu. Tetapi anak itu tidak berkata apapun untuk menjawab salam perkenalanku. Aku mengajaknya bersalaman tapi anak itu tidak bergerak sama sekali. Wajahnya terlihat semakin cemberut dan kesal.
“Andrew, ayo bersalaman dengan uncle Joe. Andrew!” suara Helena sedikit mengeras. Dia terlihat marah kepada anaknya.
“Sudahlah, tak apa-apa Helena,” kataku untuk meredakan amarah Helena.
Untuk mencairkan suasana, aku memanggil pelayan untuk memesan beberapa minuman dan makanan untuk kami. Aku memesan Capucinno Latte. Helena memesan secangkir Espresso, minuman yang selalu dia pesan dari dulu setiap datang ke Café ini, dan dia memesankan Orange Jus dan Tart Strawberry untuk anaknya.
***
Aku memikirkan apa yang ingin dikatakan Helena kepadaku saat ini. Apakah itu mengenai masa lalu kami? Apakah dia ingin mengatakan alasan mengapa dia meninggalkanku tujuh tahun lalu? Atau apakah dia ingin membicarakan kehidupannya yang sekarang kepadaku? Semua pertanyaan itu muncul di kepalaku. Aku sebenarnya ingin mengetahui alasan dia meninggalkanku tujuh tahun lalu.
“Helen, apa yang ingin kau bicarakan denganku?” tanyaku kepada Helena yang sedang meminum espresso-nya. “Apakah itu ada kaitannya dengan masa lalu kita?”
“Joe, sebenarnya aku ingin …”
Belum sempat dia menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba ponselku berbunyi. Di display ponselku muncul nama uncle James. Dia adalah adik ayahku dan sepertinya panggilan itu sangat penting. Aku memberikan tanda kepada Helena untuk menungguku sejenak mengangkat telepon itu.
Aku terkejut dan panik setengah mati. Uncle James mengatakan bahwa sesuatu terjadi kepada Ayahku.
“Helen, maafkan aku. Sesuatu terjadi kepada Ayahku. Penyakit jantungnya kambuh dan dia harus dilarikan ke rumah sakit. Aku harus bergegas kesana. Aku sepertinya harus meninggalkanmu. Kita tunda pembicaraan kita. Apakah kau tak keberatan?”
“Ya, tentu saja Joe. Ayahmu lebih penting. Kau harus cepat menuju rumah sakit. Aku akan menghubungimu lagi nanti. Aku mendo’akan yang terbaik untuk Ayahmu.”
“Terima kasih atas pengertianmu, Helen.”
Setelah mengatakan itu, aku bergegas keluar dari Café dan meninggalkan Helena dengan anaknya. Karena aku tak membawa mobil, dengan terpaksa aku harus menaiki transportasi umum agar lebih cepat menuju rumah sakit. Aku melambaikan tanganku. Sebuah taksi berhenti dan aku segera menaikinya. Pikiranku sudah tak karuan lagi. Aku sangat mengkhawatirkan keadaan Ayahku. Penyakit jantungnya selalu kambuh tiba-tiba dan itu sudah berlangsung selama 2 tahun terakhir. Aku tak ingin Ayahku meninggal. Diantara semua anggota keluargaku, dia satu-satunya orang yang mengerti aku. Aku tak ingin Ayah meninggalkan aku sama seperti Ibu meninggalkan aku 4 tahun lalu. Ibuku meninggal karena Stroke. Aku sangat terpukul saat ibu meninggal. Dan aku tak ingin hal yang sama terulang kembali.
***
Aku merebahkan diri di atas kasur. Aku sudah tak perlu khawatir lagi dengan keadaan Ayahku yang sekarang sudah sedikit membaik. Tapi dia harus di rawat beberapa hari di rumah sakit. Aku sudah tiga hari menemani Ayah di sana dan sudah tiga hari pula aku tak masuk kerja. Uncle James menggantikan aku menjaga Ayah mulai malam ini karena besok aku harus kembali bekerja.
Sekarang sudah jam satu dini hari. Aku mencoba untuk memejamkan mataku sejenak, namun tak bisa. Bayangan Helena selalu muncul di benakku. Entah mengapa mengetahui Helena sudah memiliki anak, sedikit menyakiti perasaanku dan sepertinya dari lubuk hati yang terdalam aku masih mencintainya. God, bantu aku agar perasaan ini tak muncul lagi. Aku tak bisa membiarkan perasaan ini tumbuh lagi. Tak apa-apa bila dia masih lajang. Tapi Helena sudah memiliki suami dan anak. Aku tak boleh mencintai wanita bersuami.
Alarm di jam weker ku berbunyi saat aku mulai terlelap tidur. Kulihat jam di jam itu sudah menunjukan pukul tujuh pagi. Aku bersiap untuk pergi ke kantor seperti biasanya. Chevrolet-ku sudah diperbaiki, aku bisa lebih cepat menuju kantor. Anthony orang pertama yang aku sapa saat tiba di kantor. Aku duduk di mejaku. Kukerjakan semua pekerjaan yang sudah menumpuk. Pertama kuselesaikan lapuran mingguan dan bulanan yang selalu membuatku pusing tujuh keliling.
Ponselku tiba-tiba saja berbunyi saat aku menghitung angka-angka dengan kalkulator. Kuangkat panggilan masuk itu. Terdengar suara wanita yang menangis tersedu.
“Joe, ini aku…,” ucap suara itu sambil terisak-isak.
“Helen, kenapa.. kenapa kau menangis? Apa yang terjadi padamu?” tanyaku.
“Sesuatu terjadi pada Andrew anakku. Bisakah kau kesini? Aku perlu bantuanmu,” ucapnya sambil berusaha menahan tangisan.
“Ya.. Ya, tentu. Sekarang kau ada dimana? Aku akan segera kesana.”
Rumah sakit Presbyterian.
Akupun bergegas pergi. Setelah tigapuluh menit perjalanan dengan melintasi kemacetan kota New York, aku tiba di rumah sakit Presbyterian. Aku segera masuk dan mencari keberadaan Helena. Aku menemukannya. Dia terduduk lesu di kursi tunggu di depan ruang Instalasi Gawat Darurat. Aku berjalan kearahnya dan duduk di sampingnya.
“Helen, apa yang terjadi pada Andrew?”
“Terima kasih kau sudah datang Joe. Anakku… anakku mengalami kecelakaan. Dia.. dia tertabrak mobil saat pergi ke sekolah. Dan dia.. dia sekarat sekarang,” ucapnya kepadaku sambil menangis. Aku memeluk tubuhnya. Matanya lebam karena terus menangis. Wajahnya pucat.
“Sudahlah, Helen. Dokter pasti bisa menyelamatkan anakmu,” ucapku sambil mengelus-elus rambutnya berusaha menenangkan dirinya.
“Aku perlu bantuanmu.. Joe..”
“Ya, tentu katakanlah apa yang bisa kubantu. Aku akan melakukan apapun untuk bisa membantumu.”
“Bisakah kau mendonorkan darahmu untuk anakku?” ucapnya sambil bangkit dari pelukkanku.
“Ya, iya, tentu saja aku bisa. Tapi apakah golongan darah kami sama? Kau tahukan golongan darahku sangat…”
“Langka,” ucap Helena melanjutkan.
“Dimana suamimu? Apakah golongan darahnya sama dengan anakmu?”
“Aku.. aku belum menikah, Joe.”
Aku sungguh terkejut dengan dengan ucapannya. Bagaimana bisa Helena punya anak tapi dia sendiri belum menikah.
“Apa.. apa maksud perkataanmu?”
Helena terdiam sesaat. Dia seperti memikirkan sesuatu.
“Joe… aku harus mengatakan sesuatu padamu. Dengarkanlah!”
“Ya, tentu. Aku akan mendengarkanmu.”
“Joe… Sebenarnya Andrew… Andrew adalah anak kandungmu…”
Aku benar-benar terkejut dengan apa yang barusaja dia ucapkan.
“Apa maksudmu? Itu tidak mungkin. Helen, kau pasti bercanda kan?”
“Tidak, Joe. Aku tidak bercanda. Andrew memang anakmu. Di dalam diri Andrew mengalir darahmu. Aku tahu golongan darahmu AB+ dan itu sama dengan golongan darah anakku. Golongan darah itu sangat langka, pihak rumah sakit sudah kehabisan stok darah itu. Dan satu-satunya harapan untuk bisa menyelamatkan hidup anakku adalah kau, karena kau adalah Ayahnya.”
Aku bingung. Aku seperti tidak mempercayai hal itu. Tapi saat melihat kedua bola mata Helen, aku tahu dia tidak berbohong apalagi untuk hal seperti ini. Tatapan matanya mengatakan bahwa semua itu benar. Tapi aku benar-benar tak bisa memahami bagaimana bisa hal itu terjadi.
“Tapi bagaimana bisa itu terjadi? Andrew adalah anakku? Jangan bilang kau dulu…”
“Iya, Joe… tujuh tahun lalu, aku meninggalkanmu karena pada saat itu aku hamil anakmu. Aku benar-benar bingung Joe. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Akhirnya aku mengatakannya kepada kedua orangtuaku. Tapi mereka malah menyuruhku untuk tinggal di Australia dan melahirkan anak kita disana.”
“Kenapa saat itu kau tak memberitahuku, Helen?” aku sedikit meninggikan suaraku. “Bagaimana bisa kau melakukan itu kepadaku?”
“Ayah melarangku Joe. Kau tahu kan bagaimana sifat ayahku. Dia malah menyuruhku untuk menjauhimu.”
Aku sedikit marah dan kesal padanya. Kenapa dia tak berani menentang Ayahnya dan mengatakan semua hal penting itu padaku. Tapi kemarahan sudah tak ada gunanya lagi sekarang. Aku harus menyelamatkan nyawa anakku. Hidup anakku tergantung padaku.
“Baiklah Helen, aku bisa mengerti perasaanmu. Sekarang yang terpenting kita harus menyelamatkan Andrew. Aku akan mendonorkan darahku untuk anakku.”
***
Hari ke duapuluh tiga di bulan Maret, awal musim semi yang indah. Bunga-bunga kembali merekah. Aku sangat suka musim semi, udara di New York menjadi hangat. Di hari ini aku telah mengambil sebuah keputusan. Keputusan yang akan mengubah hidupku di masa depan. Akhirnya aku bisa menikahi Helena Wilson, ibu dari anakku dan aku sekarang menjadi seorang Ayah bagi Andrew Joshua Dexter. Enam tahun, dia tidak bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah. Aku ingin menjadi sosok seorang Ayah yang sempurna baginya. Aku akan mencurahkan seluruh hidupku untuk kebahagiaan keluarga yang baru ku bangun ini.
Aku tak akan marah lagi apabila ada orang yang memanggilku Joe, bahkan kini aku lebih senang bila orang-orang memanggilku dengan sebutan Joe.
“Josh, apa kau bisa membantuku?” tanya Anthony.
“Tony, mulai kau sekarang kau sebaiknya memanggilku Joe. Seperti biasa kau memanggilku.”
“Oh, ayolah Joshua Dexter. Kenapa kau memintaku memanggilmu Joe setelah aku berusaha keras memnggimu Josh?”
“Karena aku sekarang lebih suka dipanggil Joe,” ucapku sambil tertawa.
Anthony tampak kebingungan. “Kau satu-satunya orang yang pernah kutemui yang selalu membuatku bingung,” gumam Anthony karena kesal.
Setelah tiga minggu kami menikah, istriku hamil. Dan berdasarkan hasil pemeriksaan USG saat kandungan istriku berusia 6 bulan, anak kami seorang laki-laki. Aku dan istriku akhirnya sepakat dan memutuskan untuk menamai anak kedua kami dengan nama Joshua Dexter Jr.

-     THE END -